Pegulat Tunisia Hassine Ayari (merah) saat bertarung melawan atlet Maroko Choukri Atafi di Olimpiade 2012. (Mike Hewitt/Getty Images)
Banyak cerita menarik sepanjang perhelatan Olimpiade London 2012. Bagi pelatih gulat Tunisia, Zouhair Seghaier, cerita tersebut bermula dari sebuah revolusi.
Bagi rakyat Tunisia, pergantian tahun dari 2010 menuju 2011 bukan sekadar soal kalender yang disobek. Dalam selang waktu tersebut, kekuasaan diktaktorial selama 24 tahun yang dijalankan Presiden Zine El Abidine Ben Ali akhirnya tumbang oleh otoritas rakyat.
Revolusi Tunisia bermula ketika pada Desember 2010, seorang pedagang bernama Mohammed Bouazizi, mati akibat membakar dirinya sendiri, karena frustasi akibat barang dagangannya direbut oleh seorang polisi wanita.
Sejak saat itu, gelombang makar terjadi. Tunisia menjadi negara kaotis dengan penuh majal di sana-sini. Dan dari Tunisia pula, Mesir, Libya, dan Yaman mendapat inspirasi untuk memulai revolusi.
Ketika negaranya tengah kacau balau, Seghaier yang bingung tetap menjalani hari sebagai pelatih gulat untuk Tunisia. Ia tak bisa berdiam diri menunggu perang berhenti.
"Kami berhasil berlatih kembali setelah tujuh hari (revolusi). Itulah kenyataannya," ujarnya seperti dilansir Reuters.
"Kami memang takut, tetapi setelah tujuh hari, aku menghubungi tiap atlet, laki-laki dan perempuan, lalu mereka datang ke tempat pelatihan seperti semula. Semua berlangsung cepat, sangat cepat."
Meski Seghaier tak berhasil membawa Tunisia meraih satu pun medali emas di Olimpiade London 2012, ia tak lantas merasa kecil hati. Baginya, ada hal lain yang lebih berharga dan tak ternilai.
"Hari ini, aku bisa berbicara padamu dengan bebas. Sebelumnya aku tak bisa. Kau bisa memberikan opinimu. Itu fantastis.
"Para atlet juga mengalami perubahan, meski sebagian dari mereka ada juga yang belum mengerti makna demokrasi. Tetapi mereka mampu mengekspresikan apa yang baik dan yang buruk, yang ada di kepala mereka.
"Hari ini, mereka merasakan kebebasan sesungguhnya. Seutuhnya. Terima kasih, Tuhan."
Sumber : Detik.com
Bagi rakyat Tunisia, pergantian tahun dari 2010 menuju 2011 bukan sekadar soal kalender yang disobek. Dalam selang waktu tersebut, kekuasaan diktaktorial selama 24 tahun yang dijalankan Presiden Zine El Abidine Ben Ali akhirnya tumbang oleh otoritas rakyat.
Revolusi Tunisia bermula ketika pada Desember 2010, seorang pedagang bernama Mohammed Bouazizi, mati akibat membakar dirinya sendiri, karena frustasi akibat barang dagangannya direbut oleh seorang polisi wanita.
Sejak saat itu, gelombang makar terjadi. Tunisia menjadi negara kaotis dengan penuh majal di sana-sini. Dan dari Tunisia pula, Mesir, Libya, dan Yaman mendapat inspirasi untuk memulai revolusi.
Ketika negaranya tengah kacau balau, Seghaier yang bingung tetap menjalani hari sebagai pelatih gulat untuk Tunisia. Ia tak bisa berdiam diri menunggu perang berhenti.
"Kami berhasil berlatih kembali setelah tujuh hari (revolusi). Itulah kenyataannya," ujarnya seperti dilansir Reuters.
"Kami memang takut, tetapi setelah tujuh hari, aku menghubungi tiap atlet, laki-laki dan perempuan, lalu mereka datang ke tempat pelatihan seperti semula. Semua berlangsung cepat, sangat cepat."
Meski Seghaier tak berhasil membawa Tunisia meraih satu pun medali emas di Olimpiade London 2012, ia tak lantas merasa kecil hati. Baginya, ada hal lain yang lebih berharga dan tak ternilai.
"Hari ini, aku bisa berbicara padamu dengan bebas. Sebelumnya aku tak bisa. Kau bisa memberikan opinimu. Itu fantastis.
"Para atlet juga mengalami perubahan, meski sebagian dari mereka ada juga yang belum mengerti makna demokrasi. Tetapi mereka mampu mengekspresikan apa yang baik dan yang buruk, yang ada di kepala mereka.
"Hari ini, mereka merasakan kebebasan sesungguhnya. Seutuhnya. Terima kasih, Tuhan."
Sumber : Detik.com
0 komentar:
Posting Komentar